Teteh Binor yang memuaskan - Part 1 [SERU]
Share your moments and inspiration with the world! 🔥 Click share and spread it across your favorite social media. 🚀✨ #StayConnected
Siapa kau, siapa aku…
Apakah kau dan aku sama?
Kata orang kita adalah pemenang,
Karena kita adalah individu terbaik, berhasil menembus sel telur
Keluar berhasil mewujudkan diri kita sebagai Manusia Pemenang.
Jadi, apa selanjutnya?
Menghitung hari detik demi deti…..
Aishh…
Apa pula ini, malah mau nyanyi!
Tapi tak bisa dipungkiri, aku menyukai suasana ini, sebelum ini pun juga tempatku bernaung cukup sunyi karena berada dipinggiran ibukota.
Berbeda, sungguh berbeda suasananya bahkan dunia yang berbeda.
Apakah aku sudah mati?
Ashhh…
Idiot macam aku ini berpikir ngawur.
Bagaimana otakku berpikir idiot seperti itu, aku tuh ga berharap mati meski umurku sudah cukup panjang.
Dunia berbeda ini, hanyalah suasana tempat tinggal orang tuaku, lebih tepatnya Ayahku.
Daerah pedesaan banyak sawah menghampar terlihat, membuat suasana yang berbeda sekali dengan yang dulu.
Dipecat!
Bagaimana aku berakhir disini, ya itu jawabannya, aku dipecat bahkan sebelum tragedi itu, tragedi yang mengguncang dunia.
Tidak perlu dibahas pemecatanku, itu ranah yang ingin kulupakan, tapi jangan berpikir kinerjaku ga kompeten yah, justru sebaliknya sangat kompeten, sudah sampai disitu aja ceritanya.
Intinya, setelah keadaan terdesak itu dengan sangat terpaksa kuputuskan menyusul Ayahku.
Jadi disinilah aku sekarang tepat sebelum tragedi itu dimulai.
Keseharianku berubah drastis, yah memang sih ketika masih kerja waktu itu tidak mengikuti jam kantoran biasa, karena harus selalu di lapangan.
Dan sekarang sebenarnya tidak terlalu berubah, hanya waktu itu punya anak buah yang siap diperintah, sekarang ga ada yang bisa diperintah jadi harus lakukan sendiri dan itu sangat berat, mengingat fisik sudah ga kayak dulu lagi.
Seribu meter persegi kurang lebihnya, lahan yang dimiliki ayahku untuk dikelola. Dan beliau mempercayakan aku untuk mengurusnya.
Apakah aku bisa, harus optimis donk pasti bisa.
Pada awalnya berat, sebentar beratnya ini bukan seperti yang kalian pikirkan, hidup di desa itu berkebalikan dari kehidupan di kota.
Beratnya disini itu tuh karena masyarakat itu sendiri, mereka melihat kami sebagai keluarga berkecukupan.
Sial bukan.
Lima ratus meter persegi kucoba untuk menanam singkong di tengah-tengah pohon buah yang sudah tertanam sebelum aku datang.
Menanam singkong itu mudah, ga perlu beli bibit, satu pohon saja bisa dibuat untuk bibit baru, jadi karena terbatasnya pengeluaranku, pilihan singkong itu mudah dan murah, bahkan gratis, yang bikin effort tuh menggemburkan tanahnya sebelum ditanam.
Wuiiihhh….
Melelahkan.
Kalian tahu, butuh lima hari untuk mencangkul tanah saja, mungkin kalian yang sudah biasa sehari dua hari selesai, tapi buatku itu butuh waktu yang lama.
Hei… berapa lama kau bekerja mencangkul tanah? masak gitu aja butuh waktu lama.
![]() |
Teteh Binor yang memuaskan - Part 1 [SERU] |
Jadi begini ceritanya, ingat jangan tertawa sebelum kamu yang ga pernah cangkul tanah melakukan pekerjaan itu.
Dengan semangat empat lima aku mulai dari jam setengah delapan pagi, rencananya membersihkan gulma terlebih dahulu baru kemudian mulai mencangkul tanah.
Ingat itu rencana ku, mengatur jadwal progres pekerjaan itu kerjaanku, dan kalian tahu aku cukup hebat disitu, progres ku selalu tepat jadwal bahkan di bawah target penyelesaian, itu karena aku mengatur pekerja ku sesuai keahliannya.
Tapi itu dulu, sekarang semuanya haruslah diriku ini yang mengerjakan semuanya.
Gulma berhasil diselesaikan dalam satu barisan lurus, kemudian plan kedua mulai mencangkul.
Ayo kita mulai jadi saatnya kita bersemangat.
Pasti kita bisa ingat kita adalah sang juara aduh kok jadi lebay gini sih.
Dan beginilah kenyataannya,
Hufthh..
Haduh…
Tenaga ini,
Nafas ini,
Berat,
Sangat berat,
Istirahat sebentar…
Tenaga mulai pulih, nafas mulai teratur, kuputuskan mulai mencangkul hehehe, aku pasti bisa.
Hufftt..
Ampun..
Ampun dah….
Nafas kembali berat, dan ditambah mata berkunang-kunang buram, kupikir karena keringat haisshh ternyata bukan.
Baju penuh dengan keringat, dari ujung kelapa eh kepala basah semua, bahkan celana juga ikut basah.
Kulirik hasil kerjaku,
KUCLUK!!
Cuman dua meter, cuman dua meter,
Oh umur-umur, ku kutuk umurku ini, seribu topan badai ternyata aku lemah, sangat lemah.
Istirahat lagi pulihkan tenaga, masih optimis sesuai target.
Sial, beneran sial, cuman bisa nambah semeter lagi, tubuh ini beneran sialan, sudah ga sanggup lagi. nafas yang sudah tak karuan, pandangan mata goyang, buram tak jelas, air dingin pun tak sanggup memulihkan tenaga.
Menyerah,
Aku nyerah.
Jadi teman-teman, kalau sudah capek tuh jangan diteruskan, nantinya cod sama maut gimana!
dan untuk hari itu kuputuskan selesai.
Hehehe….
Cuapek buanget loh, percaya deh sama diriku ini.
Dan untuk sisa dihari itu selesai.
Sebentar, apakah itu cukup begitu saja?
Tentu tidak.
Di hari selanjutnya, tubuh kuat nan perkasa ini huahuaa…
Ngilu semuanya, sehingga hari kedua berlalu begitu saja.
Keren ga cerita seram ini?
(Nyengir kambing bandot tua).
Dengan paksaan di hari ketiga harus memulai lagi, kali ini menggunakan akal bulusku.
Bantuan diperoleh, dengan bantuan dari bapakku eh ayahku yang ganteng beserta bocah lelaki kecil berstatus ponakan dengan sedikit iming-iming sogokan tentunya buat si bocah, dan dimulailah hari itu.
Lumayan, setengahnya sudah terselesaikan, dan sama seperti hari pertama, kinerja kami hanya sampai siang hari saja, sudah pada ga sanggup lagi katanya.
Di siang itu kami menikmati es krim per biji seharga dua ribuan tentu saja dengan uang hasil jarahan dari bos besar sang ayah tercinta sebesar lima ribu perak dan seribu rupiah tersisa di kantong buat tambahan, lumayan buat tambah semangat meski sudah ga ada tenaga lagi.
Akhirnya,
Berhasil juga bongkar kerjaan ini, dan selanjutnya tinggal nanam itu singkong kemudian biarkan saja, toh bakalan tumbuh sendirinya.
Tanah di desa ini subur, kata para tetua disini, kamu tinggal buang bijinya ke tanah nanti tumbuh sendirinya tanpa kau sadar.
Apakah kalian setuju?
Terserah saja, toh aku sudah mempraktekannya.
Namun,
Disitulah masalahnya, sebelum itu soal penyiraman em.. sesuka saja, kalau ingat dan ingin, kalau lupa ya biar saja.
Bulan berganti terus menerus, meski hanya tinggal pemeliharaan tapi kok tanpa dukungan terasa berat juga, yang lain hanya bersikap masa bodoh dengan apa yang kulakukan.
Ah.. biar saja, selama masih bisa ya lakukan saja, toh ini semua buat mencari kesibukan sembari melatih fisik mengingat bobot tubuh ini yang keterlaluan.
Berjalan pagi itu menyenangkan, menghirup udara tanpa polusi sungguh kemerdekaan buat ku.
terlepas agak berat melupakan masa lalu, bukankah hidup harus bertahan dan melangkah.
Pada akhirnya akupun cepat akrab dengan penduduk disini, mereka mengenal ayahku dan akhirnya mengenalku, ciri paling buruk dari perpindahan penduduk dari kota ke desa itu rata-rata mereka masih membawa jiwa kota yang cenderung malas bergaul dengan sekitar, dan itulah yang terjadi pada keluargaku.
Sombong, angkuh, sok kaya, huh..
Dan karena sikapku yang sok kenal sok dekat, terjadilah sesuatu hal yang, bagaimana yah menyebutnya, bingung.
Padahal itu semua aku coba menghindari kejadian ini dan akhirnya terkena juga karena efek ramah tamah ini ke diriku.
“Mas, singkongnya kapan dipanen”
“Mas, nangkanya banyak ya”
“Mas, mangganya subur buahnya banyak”
“Mas….”
banyak lagi. Dan pamungkasnya,
“Mbok diparingi buahnya” (artikan sendiri, mengerikan soalnya)
Bingung hendak menjawab apa, tapikan ini kultur yang sudah lama, jadi aku harus bagaimana?
Masih mencoba tetap ramah, dan menjawab sekedarnya, akhirnya ku lemparkan semuanya pada ayahku, biar mereka diam. Kalau mau bilang bapakku yo.
Hahaha… maaf ayah, bapakku sing guanteng.
Berbagi,
Apa kata itu maksudnya, kok milikku milikmu, milikmu ya milikmu, kayak giant aja pedomannya.
Pada akhirnya beberapa jenis buah dan sebagainya kami berbagi dengan beberapa tetangga.
Nah, kami sering berbagi tapi kok…
Kami tidak pernah diberi, sungguh membagongkan.
Bahkan ketika kami lupa memetik buah hingga akhirnya busuk, kami juga ditegur, lah… kok gini ya.
Sudahlah, tetap ada yang menyenangkan dari itu semua, termasuk kegiatan jalan pagi.
Ada keluarga yang lama menetap di kota industri dan akhirnya mereka pulang kampung,
Mereka berjualan arang pada awal mulanya dan kemudian memutuskan berjualan soto ayam.
Mereka sepasang suami istri setengah baya dengan dua anak putra dan putri.
Cukup ramah dan menyenangkan bergaul dengan mereka, terlebih dengan sang istri yang berjilbab dengan postur tubuh yang kecil, bisa dibilang mungil.
Karena seringnya aku mampir, aku jadi akrab dengan mereka, terlebih dengan sang istri yang ku panggil teteh, karena cakap berbahasa sunda, meski mereka jawa asli penduduk lokal desa kami.
Diriku,
Aku menggambarkan diriku sebagai pria paruh baya yang pendiam, cool kalau bahasa gaulnya.
itu pada awalnya, karena seringnya berinteraksi akhirnya ku tunjukan sedikit sifatku yang humoris dan smart.
Ada sesuatu yang tidak kusangka, tapi menyenangkan, itu terjadi ketika selesai makan dan bermalas-malasan pastinya kewajiban akhir adalah membayar.
Nah itu dia, ku sodorkan tanganku beserta uang dan si teteh mengelus telapak tanganku dengan sedikit lirikan menggoda.
Terkejut,
Dan itu terjadi berulang kali.
Aku tersentak berpikir liar, hehe.. boleh juga nih, kita bermain api, resiko dengan hasilnya lumayan besar, tapi bisa di coba.
Gambaran lokasi di warung, hanya dua meja besar satu untuk menyiapkan pesanan sekaligus kasir, dan satu meja lagi untuk membuat minuman, dua meja tersebut diletakkan dengan jarak dua orang dewasa bisa melewati jalan tersebut.
Jadi ketika membayar kita membelakangi meja minuman sehingga akses untuk melewati tersisa hanya satu orang dewasa.
Suatu ketika ketika malas makan ditempat, aku berencana membungkus dan makan sambil nonton filem yang baru saja ku download.
Karena menjelang siang aku belum makan sedari pagi pergilah membeli soto, kondisi ketika hari menjelang siang itu biasanya sudah sepi pembeli, dan itu kondisi pada saat itu.
Sembari berdiri untuk memesan dan sekaligus membayar, si teteh datang dari luar hendak kembali ke dapur.
Sebelumnya sempat dalam lirikan mata, ada mbak yanti yang dalam posisi hendak mengantar minuman tepat dibelakangku.
Mbak yanti ini salah satu pegawainya si teteh satunya lagi mbak siti, jangan berpikir aku menargetkan mereka juga, jawabannya tidak, tidak sama sekali, karena jujur saja bukan tipeku alias tidak sesuai spek dengan kebesaran mereka berdua berbanding terbalik dengan si teteh tentunya.
Lanjut, ketika melihat teteh hendak masuk, secara otomatis aku mendekatkan diriku ke meja kasir hendak memberi ruang pada si teteh, serr… ada tangan yang merangkul pinggangku dan terlepas perlahan seraya mengitari seluruh pinggang dari kiri ke kanan.
Hehe..
Makin liar nih.
Dan si teteh muncul tepat di samping kananku.
Aku cuman bisa terdiam kupikir ruang untuk teteh lewati tepat di belakangku, tapi ketika kulihat ke belakang melihat posisi mbak yanti ternyata sudah berpindah posisi tepat didepan meja minuman.
Weh, mengasyikan nih.
Kenapa aku menggambarkan diriku cool, sombong, itu karena mereka para pegawai si teteh, termasuk si teteh sendiri sudah mencoba minta nomor WhatsApp milikku, tapi dengan sedikit bercanda keinginan mereka kutolak, jadi ya itu menjadi gelarku, om yang sombong amat, sok cool.
Yah itu gelar dari mereka dan aku menanggapinya dengan tertawa ngakak, seh bodoh amat, ga usah dipikirin.
Kebaikan dari teteh itu ga cuman terbatas dengan sikapnya, dia juga sering berbagi makanan lain denganku, seperti teteh punya makanan ringan dan menyuruhku untuk mengambilnya, dan ada beberapa yang lain, pernah juga diberi kacang panjang hasil panen.
Meski aku ga doyan sama sayuran itu, tetap saja terpaksa ku terimalah, rejeki kok ditolak. Ga boleh itu.
Akhirnya demi membalas kebaikan si teteh, aku berinisiatif untuk membalas kebaikannya dengan mengundang ke rumahku eh rumah Ayahku maksudnya.
“Ada apa dirumah om?” tanya teteh ingin tahu.
Mereka memanggilku om, karena aku tidak pernah memberitahukan namaku kepada mereka, jadi itulah panggilanku, ‘Om’ hanya itu.
“Ngerujak di rumahku” kataku
“Emangnya ada buah apa om?” tanyanya mengejar.
“Banyak, nangka, jambu, daun pisang, dan lain-lain” ujarku sombong.
“Loh, nanam pisang juga?” main penasaran si teteh.
“Yah cuma pohon pisang, buahnya ga ada”
“Lah, kok ga ada buahnya, gimana sih om ini.” agak sebel teteh kubercandai garing.
Begitulah dengan sedikit pancingan agar si teteh mau main kerumah, yang ternyata teteh tertarik pada suatu buah, yang bernama buah matoa. dan dari sini kami akhirnya berbagi nomor untuk berhubungan.
Sebelumnya, kelakuan iseng aku tuh sering mengumpulkan matoa yang terjatuh di pekarangan rumah, karena pohonnya yang tinggi jadi susah mengambil buahnya. Jadi kubawa beberapa buah yang dikumpulkan dan memberikan kepada mereka seraya berkata,
“Tebak-tebak buah manggis, yang dapat, dapat manisnya.” kataku bercanda.
Sekitar sepuluh lebih matao yang ku bagikan itu tak pernah tertebak bagaimana rupa dari isinya, karena kalau kalian tahu buah ini tuh sedikit lucu, susah tertebak sudah matang atau belum-nya buah itu.
Terlebih lagi membukanya butuh usaha ekstra, cukup susah dibuka bagi yang belum biasa.
dan itu juga buah yang menjadi incaran para tetangga juga sih.
Matoa, seringkali menjebak mereka membuka buah yang kosong isinya karena sudah mengering, atau belum matang tak ada isinya, begitu mendapat buah yang matang gembira sekali mereka dibuatnya. Yah, pastinya akan susah ditebak, terlebih lagi aku cuman mengumpulkan dari tanah, pohonnya tinggi susah dipanjat.
Yah, ternyata dengan matoa berhasil mengajak teteh kerumah dengan kesepakatan setelah warung tutup dan beberes.
Dan akhirnya si teteh datang dengan mengejutkan membawa pasukannya.
Hah, tak apalah langkah pertama berhasil selanjutnya strategi berikutnya.
Kucoba lakukan sentuhan demi sentuhan sering terjadi di antara kami, dan itu begitu menggoda imajinasi liarku, tetap saja kesan yang ku bangun tetap cool ga terpengaruh, biar si teteh penasaran.
Dari situ biar ku simpulkan bagaimana si teteh sebenarnya.
Mereka pada akhirnya sering kali berkunjung dan dengan sengaja, ku minta teteh datang dengan suaminya dengan alasan untuk memanjat, karena aku beralasan ga bisa manjat, dan itu memang benar. Yah, sekedar alasan dan membuat keadaan terbiasa, kalau si istrinya datang itu untuk memetik buah bukan dengan maksud yang lainnya.
Jadi kalau sudah terbiasa akan dianggap lumrah bukan, jadi memudahkan langkah selanjutnya.
Memang tidak mudah membuat si teteh datang sendiri, terkadang membawa anaknya yang laki super bandel dan juga terkadang anaknya yang perempuan yang sering teriak-teriak histeris lumayan telinga jadi berdengung.
Karena terbiasa, oleh sebab itu menjadi jaminan langkah berikutnya.
Pernah aku iseng bertanya,
“Teh, bojomu (suamimu) ga nyariin dirimu kemana?”
Dengan ringan teteh menjawab,
“Ah, bojoku ga bakal nyariin, sudah cuek orangnya.”
‘Kalau begitu sempurna donk’ pikirku gembira.
Kami sudah cukup akrab, dengan bercanda konyol, plus agak-agak gimana gitu.
“Om, jeruk nipisnya sudah ada buahnya belum”
“Beuh, belum, ga tau kenapa” ujarku cuek.
“Kalau belum berbuah, ya dibuahi donk” kata teteh sambil senyum menggoda.
“Iya, ntar ta buahi” masih membalas candaan absurdnya.
Kembali siang itu, kebiasaan lama males makan, pokoknya makan kalau udah laper itu semboyanku.
Jadi yah gitulah, setelah menimbang-nimbang, karena lauk yang tersedia tak menggugah selera, mulai lah memilih mau makan apa.
Terserah.
Tentu tidak, pilihanku jadi ke soto mengingat tempat terdekat dan teduh di siang hari panas terik begini.
Sedang asiklah menikmati soto ayam dengan gorengan mendoan yang mengenyangkan cacing busuk perut ini.
Tiba-tiba,
“Om, di rumah ada print kan?”
“Kenapa?” jawabku terkaget, si teteh ini menurut dirinya sendiri tuh sudah berkata lemah lembut, tapi beda dengan kupingku, suaranya cukup lantang sering bikin kaget kala lagi asik sendiri.
“Ini, si agi disuruh bikin tugas sekolah, tinggal ngeprint aja ih” jelas si teteh, Agi itu panggilan anak cowoknya si teteh.
“Sok atuh, mangga wae (silahkan, datang saja)” ucapku.
“Kapan?” lanjut ku tanya, karena masih ada kerjaan yang kejar tayang juga sih.
Sumpah, mengatur waktu kerjaan tuh beda banget ketika mandiri dengan menjadi budak perusahaan.
“Biasa, habis tutup warung ya om” jawab teteh.
“Oke, teh.”
Sebenarnya aku sempat melupakan janji dengan si teteh, karena keasikan dengan sesuatu yang seru karena berhubungan dengan date line yang suka mepet, hingga tiba-tiba ada pesan masuk dari teteh mengabarkan dirinya sedang ‘otw’ ke tempatku, dan segera merespon dengan singkat, ‘siyap teh.’
Kembali asik dengan keseruanku kembali sampai terdengar suara motor memasuki pekarangan rumah, kembali tersadar dan berpikir itu mungkin teteh dan ternyata benar, suaranya yang terdengar nyaring, yah gitu deh si teteh.
“Om…”
“Iya, masuk aja” seruku sambil membuka gerbang kecil untuk akses masuk teteh, dan sesuai dugaanku dia datang bersama anak perempuannya ternyata dan sudah pasti makin ramailah situasi kamarku.
Teteh memberikan flashdisk kepadaku dan menjelaskan file yang mau di printnya, setelah kubuka file tersebut dan membacanya sebentar, tampak kacau sekali pengetikannya, aku menjelaskan ini nambah kerjaan buatku nih, harus mengedit tulisannya dan kemudian menyesuaikan dengan format kertas yang hendak di print.
Si teteh mah dengan cueknya berkata,
“Yah, tolong sekalian dong om” sedikit merayu.
Berhubung ada keberadaan anaknya, teteh agak jaga kondisi, sedikit formal, malu kalau agak gimana gitu terlebih anaknya yang sulung sudah paham yang aneh-aneh, padahal anak kelas enam SD.
Karena aku tidak menyediakan kursi lebih, jadi hanya aku saja yang duduk sementara teteh dan anaknya berdiri disampingku.
Lumayan banyak yang harus dibenahi, yah maklum skill anak sekolah dasar dengan ibunya yang jarang sekali bahkan ga pernah megang laptop apalagi mengedit dokumen jadilah komunikasi kami berjalan ramai.
Anaknya teteh yang bahkan tidak paham apa yang dia buat hanya membuatku tambah bingung jadi kena tegurlah ibu dan anak itu.
Akhirnya, kuputuskan sesuai dengan saranku ke mereka sebelumnya terpaksa aku rubah tulisannya dan itu memerlukan waktu.
Karena tinggal mengatur dan sedikit lagi selesai, anaknya teteh menjadi agak bosan dan pergi keluar kamarku bermain sendiri dengan pasir di depan kamar.
Ketika aku bertanya apakah ini sudah sesuai dengan keinginannya, teteh mendekat tepat disamping mukaku dan sambil menjawab pertanyaanku.
Sambil terkesima melihat dekatnya wajah kami, aku juga merasakan hembusan nafasnya menerpa pipiku, perasaanku bergejolak liar, dengan nekat merancang skenario nakal kumajukan wajahku ke layar monitor sambil bertanya ke teteh yang ternyata wajahnya ikut mendekat ke arah monitor dan dengan tiba-tiba aku menoleh ke arahnya seolah-olah tidak sengaja dan dengan cepat mencium pipinya.
Teteh tersentak kaget dengan spontannya berkata dengan agak keras,
“Ihh… si om, maen nyosor aja”
“Jangan keras-keras, kedengaran ntar, maaf ga sengaja” kataku pelan memperingatkan sekaligus minta maaf.
“Yah, habisnya tiba-tiba main nyosor aja” kata teteh pelan takut anaknya mendengar.
Wah, hijau nih lampunya.
“Hitung-hitung bayarannya ya” kataku menggoda.
“Yee… maunya” jawab teteh
“Ya sudah nanti aja dibayar kontan” candaku sambil tertawa geli.
“Tapi yang tadi dihitung DP ya” lanjutku.
“Ah… si om, perhitungan mulu” katanya, “mosok minta lagi” dengan gemasnya jemari teteh menyentuh pipi hendak mencubit, tapi dengan sigap langsung kupegang tangannya tanpa sengaja sedikit menarik tubuh teteh ke arahku, karena teteh agak sedikit melawan karena kutarik tangannya.
“Ampun teh, jangan sakiti diriku yang lemah ini” candaku sambil tetap memegang tangannya.
“Tak ada ampun bagimu” kata teteh ikut bercanda.
Tanpa sengaja tangan teteh yang kupegang terarah ke selangkanganku, dan menyentuhnya dengan sedikit keras.
Aku mengaduh kesakitan, hingga membuat panik teteh
“Aduh, maaf om, si om juga yang mulai” teteh ga mau disalahin rupanya.
“Ga bisa, harus tanggung jawab” kataku
“Tanggung jawab apanya” tanya teteh.
“Sembuhin-lah” jelasku ngotot.
“Iya deh, ta sembuhin” katanya menggoda. seraya berkata demikian teteh mengarahkan tangannya ke selangkanganku dan mengelusnya pelan, tapi sebenarnya hanya gimik tangan teteh aja tidak sampai menyentuh celana boxerku.
Dengan sedikit ketus, “Yang niat dong nyembuhinnya” seruku,
Ku pegang tangan teteh dan langsung menyentuh nya ke selangkanganku terutama penisku dan memainkan jemarinya teteh untuk sedikit meremasnya.
“Ya Alloh, tanganku tercemar” seru teteh.
“Hush, ngawur aja” elak ku, sambil tetap memaksa teteh terus meremasnya.
Karena dari tadi kami berisik mencurigakan, anaknya teteh bertanya kepada ibunya ada apa yang terjadi?
Mendengar suara anaknya teteh dengan otomatis segera tangan kami langsung terlepas.
“Ga apa-apa, kamu tuh malah main aja, inikan tugas sekolahmu” jawab teteh sekaligus menegur anaknya.
Si anak berusaha mengelak sambil tertawa malu.
Untungnya kerjaan mereka sudah selesai dan setelah aku print mereka langsung membawanya dan sambil mengucapkan terima kasih mereka langsung pamit pulang.
Walah, nyaris saja…
Setidaknya sudah merasakan pipi teteh dan remasan tangannya, pikir edanku.
Tapi, berhubung tadi ceritanya nanggung alias kentang, siapa sih yang suka kentang gitu pasti sebalkan, jadinya sambil mengelus dibalik boxerku, imajinasi melayang-layang.
“Terus teh, remas lagi… kocok pelan-pelan…”
“Ayo teh, dikit lagi, enak banget tanganmu”
“Ayo om, keluarin…”
“Dikit lagi teh… terus teh… ah gila enak banget tangan teteh”
“Bentar lagi tehh.. yang cepat…” erangku menuju klimaks.