Teteh Binor yang memuaskan - Part 3 [SERU]

πŸš€ This page has been blowing up! Total views:: Views
Share your moments and inspiration with the world! πŸ”₯ Click share and spread it across your favorite social media. πŸš€✨ #StayConnected
Hei, ini kenapa?
Apa karena mengalihkan fokus tadi penyebabnya.
Bahaya ini, penis kebanggaanku, senjata tak terkalahkan kebangganku, tiba-tiba menjadi titit kecil.
Dengan galau, ku jatuhkan tubuhku di atas teteh sambil menciumi sekujur wajahnya dan beralih ke payudara teteh, dan akhirnya berhasil menaikan vitalitas kegagahan juniorku.
Tapi, tetap ga bisa maksimal.
Dengan posisi misionari, terlihat diriku sedang menyetubuhi teteh, tapi entahlah apa penisku sudah memasuki lobangnya teteh atau belum sudah tak kupedulikan lagi, tujuanku cuman ingin menuntaskan klimaks saja.
Ciumanku kasar mengulang memasuki mulut teteh, kusemburkan ludahku ke dalam mulut teteh dan aku juga menyedot ludah teteh membuat birahiku akhirnya menuju puncak, dengan semburan yang kurasakan berulang kali keluar dari alam diriku.
Mulutku masih melumat mulut teteh seakan-akan tak mau kulepas, meski aku sudah mencapai puncak, goyangan pinggulku masih kulakukan terus.
Aku belum puas, sepertinya berciuman dengan teteh membuatku tergila-gila dengan teteh, dan pada akhirnya stamina juga yang mengakhirinya.
Aku terkulai lemas diatas tubuh teteh, dengan kedua lenganku masih menopang berat tubuhku, hanya kelamin kami yang masih menempel, enggan ku lepaskan.
“Berat om”
Tersadar ucapan dari teteh dengan segera aku berlutut membebaskan kukunganku dari teteh.
Teteh Binor yang memuaskan - Part 3 [SERU]
Teteh Binor yang memuaskan - Part 3 [SERU]
Kulirik ke bawah sana, penisku sudah menjadi titit kecil kembali.
Ku elus-elus pusar teteh sampai ke bawah vaginanya, pengen tahu kemana muncratan spermaku barusan.
Ternyata tidak kutemukan apapun dari kulit mulusnya teteh.
‘Mosok keluar di dalam sih’ pikirku bingung.
Teteh terduduk di ranjangku, dan dengan segera kuraih tisu untuk kuberikan kepada teteh.
Dia hanya terdiam sambil membersihkan tubuhnya, sengaja tidak kuperhatikan karena agak takut kalau teteh sadar aku keluar di dalam.
Teteh berdiri dan berusaha merapikan dirinya, aku tergerak untuk membantunya merapikan pakaiannya, dan kembali rapi pakaiannya teteh, meski agak lecek di beberapa bagian.
Dia berbalik menghadapku dan kemudian memeluk pinggangku dengan wajahnya mengarah ke wajahku.
Teteh hanya tersenyum tidak mengucapkan sepatah kata pun, begitu juga denganku yang ikut terdiam.
Karena aku ga mau menjadi kaku, ku kecup hidung peseknya teteh, sengaja bukan bibir supaya ga kelihatan hanya nafsu saja ke teteh.
Teteh tersenyum dan melepaskan pelukannya, segera dia pamit pulang tidak lupa membawa kertas hasil print tadi.
Aku mengantar kepergian teteh dan setelah itu aku kembali ke kamarku dan dengan berkacak pinggang, aku terheran-heran.
“Kok bisa kejadian gini ya!” ujarku bahagia pastinya.

Malam itu aku masih memikirkan kejadian tadi dengan teteh, dan ada yang sangat mengganggu itu kenapa bisa tiba-tiba lemas gitu si junior?
Kucari dalam internet dan menemukan banyak penyebabnya, jadi malah tambah pusing.
Tapi ada satu kemungkinan, tapi itu belum terbukti kebenarannya, daripada kepikiran terus baiknya kulupakan saja.
Rencanaku tidak mungkin hanya sekali saja dengan teteh, bahkan kami sudah membuat rencana selanjutnya, yang pastinya teteh juga sangat antusias dengan rencana kami.
Sekali lagi, rencana kita yang buat, hasilnya tergantung pada daratan China.
Kenapa dengan daratan China?
Yah karena mereka yang memulainya kita yang kena, seluruh dunia loh.
Virus Corona.
Berita itu sudah lama aku dengar dan saksikan sendiri, tapi dengan jumawa meyakinkan diri Negara ini hebat, pasti ga akan kena tuh virus.
Teteh berkabar, dia sekeluarga terpapar virus corona, jadi meliburkan warungnya sampai batas waktu ga ditentukan.
Karena pekerjaannya teteh yang banyak bertemu pelanggan warungnya, bisa jadi terpapar dari situ.
Dan pastinya gagal pula rencana yang sudah kususun lama sebelumnya, sungguh sial, rencana meng-anal si teteh jadi gagal.
Rumah Ayahku itu tepat berseberangan dengan kuburan desa kami, jadi karena bencana tersebut hampir tiap minggu selalu saja ramai depan rumah Ayahku, bahkan tetangga kami Suami - Istri turut menjadi korban.
Tidak perlu ku ceritakan detailnya pula kepada kalian tentang kejamnya virus ini, toh kalian sendiri juga mengalaminya, tul-kan. Yah, gitu deh… akan ada tapinya,
Aku Bodoh,
Pagi itu aku bangun entah hari apa atau hari keberapa bencana ini berjalan, tapi yang pasti badanku terasa”aneh”.
Lungkrah, tulang-tulang dan persendian terasa tidak nyaman (sakit) semua. Peristilahan yang lazim tidak enak badan.
Hari itu walau agak terlambat, aku tidak bisa beraktivitas seperti biasanya, tapi masih saja aku memaksakan diri, menolak malas yang semulanya kejadian ini karena aku ingin bermalas-malasan, tapi tidak bisa karena badan sungguh-sungguh tidak bisa diajak kompromi.
Hari berikutnya kembali lagi entah hari apa atau hari keberapa, badan terasa bersahabat (walau tidak Fit), aku bisa beraktifitas seperti biasanya..
Tapi entah kenapa hari itu sepanjang hari, aku memutuskan untuk tidak keluar dari kamarku.
Bahkan untuk mandi pun rasanya malas sekali, dan di hari selanjutnya sepanjang hari aku hanya bisa berbaring saja, karena kembali tidak enak badan.
Bahkan malamnya tidak sekejap pun aku bisa memejamkan mata.
Aku ingat hari itu hari Minggu entah tanggal berapa (Lupa), pada akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke salah satu rumah sakit biasa dekat rumah di kota ini yang biasanya menjadi langgananku untuk periksa ke dokter.
Diperiksa,
Wow, ternyata eh ternyata tensi ku tinggi sekali 180/115 (ini tinggi ga ya? - lupa).
Menurut dokter ternyata Ini yang membuat diriku tidak bisa tidur akhir-akhir ini.
Dokter memberikan resep obat penurun tensi dan sejumlah obat yang lain entah obat apa, sudah lupa nama obat dan kegunaannya.
Kemudian selama beberapa hari kedepan aku hanya mengurung diriku saja di kamar, hanya keluar untuk yang penting-penting saja. Ayahku menyadari perbedaan pola kebiasaanku dirumah dan menanyakan apakah aku baik-baik saja, dan aku hanya mengatakan, jatah masuk angin.
Kebiasan sakit yang ku derita itu sering masuk angin, tapi itu dulu ketika masih di kota, dan ketika sudah menjalani kehidupan disini penyakit masuk anginku itu mulai berkurang, bukan menghilang sih.
Sialnya, ada yang aneh dengan diriku, semula karena tensi yang tinggi kupikir obat dokter akan mengobati dengan cepat, tapi yang aneh ternyata badan terasa semakin tidak karuh-karuhan ditambah sama sekali tidak ada selera makan.
Padahal dalam keseharian di mulut ku, makanan hanya terasa enak atau enak sekali, kecuali mulutnya teteh itu uenak sekali (mulai gilak).
Tapi pada saat itu, mulut kemasukan makanan seperti tertusuk-tusuk jarum. Bau bumbu masakan menjadi siksaan luar biasa, ini terasa sangat menyebalkan buatku.
Pada sore di hari itu, badan terasa mulai demam dan batuk.
Kemudian aku memutuskan ke rumah sakit lagi untuk periksa kembali.
Aku sudah minta cek laborat (tapi belum kepikiran rapid test, dan disinilah rupanya letak kebodohan ku).
Hasilnya semua baik. Bahkan trigliserida yang biasanya relatif tinggi, saat itu di angka normal. Saturasi oksigen saat itu juga (masih) normal.
Dokter menambah beberapa obat seperti obat batuk dan penurun panas serta beberapa vitamin. Aku masih sangat optimis dengan obat tambahan, kondisi akan menjadi baik kembali.
Tapi apa yang terjadi, kondisi semakin tidak nyaman.
Menurunnya nafsu makan mencapai titik nadir.
Praktis aku hanya kemasukan air minum dan makan sedikit sekali buah.
Sepanjang hari dan malam tidak bisa memejamkan mata sama sekali. Intensitas batuk semakin tinggi.
Suhu tubuh stabil di seputar angka tiga puluh delapan derajat celcius.
Pergerakan semakin terbatas, karena bergerak sedikit saja, langsung batuk hebat sungguh akhir hidupku yang mengenaskan pikirku kacau.
Kau tak kan pernah sadar ketika kau titik terlemah dari hidupmu mulai menghantui pikiran-pikiran buruk, dan itu ku alami selama beberapa saat terlemah hidupku.
Tadi sudah kubilangkan kalau rumah ayahku tepat berseberangan dengan kuburan desa kami.
Tambahan pula, posisi kamarku yang terletak terdepan dari posisi rumah itu langsung berhadapan dengan kuburan desa, jadi ketika awal mulai tinggal di rumah ayahku itu ada beberapa kondisi dan kejadian buruk menimpaku. Sebenarnya kebanyakan itu hanya di mimpi saja, tapi mimpi yang menyebalkan.
Terkadang karena dari mimpi ceyem itu, sekonyong-konyong terbangun di jam dua atau jam tiga subuh dan langsung pindah ke kamar ayahku, pada awalnya ayahku terkejut melihat tiba-tiba aku tidur di sebelahnya, beliau hanya diam ketika ku jelaskan kenapa aku pindah ke kamarnya.
Aku berpikir, bakalan konyol kalau terus begini, mosok doa ga mempan?
Doa itu baik adanya, yang ga baik tuh yang melafalkannya, hatinya ga tulus dan ga bersungguh-sungguh.
Aihh… tunggu dulu ini bukan cerita tentang kebajikan, ini kan ceritaku yang ngasal jeplak aja.
Mengatasi,
Akhirnya bosan ketakutan, dengan sikap masah bodoh mulai mengacuhkan hal-hal negatif, jadi bagaimana caranya, ya lakukan dengan hal negatif pula donk, kan kalau negatif ditambah negatif hasilnya plus, iya kan.
Pasti ga percaya!
Masah bodoh, ini terbukti nyata kok buat hidupku, berkat forum kegelapan yang terus kuikuti dan menjadi anggota yang cukup lama, kucari hal negatif terkuat, yaitu doood, streamtape, dan kawan-kawannya. Itu mujarab, mengalihkan fokus itu kalau berhasil demit-demit jadi males deketin loh, karena aku lebih asik dengan adegannya chester koong, atau om jhon dengan size jumbo yang ngobok-ngobok cewek asia.
Case Closed,
Itu terbukti ampuh, terus hubungannya dengan kondisi terlemah bagaimana, ya jawabannya cuman satu, tentukan fokusmu, apa yang akan membuatmu bergairah kembali.
Jawabanku ya pastinya si teteh, meski bini orang, tapi yah karena jalan ninjak u sableng dan tidak ada pemaksaan, keuntungan ada pada kedua belah pihak jadi sah donk, menurutku loh!
Demi bisa ngewe sama teteh, aku kembali bersemangat. Hebatkan aku, ayo tepok tangannya mana?
Waktu kondisi terlemah,
Banyak teman - temanku yang bilang,
“Mas titit itu, dalam keseharian sangat disiplin menerapkan protokol kesehatan, masih kena covid juga”.
Jujur saja aku tidak tahu apakah itu kesaksian yang tulus, atau hanya sekedar ungkapan untuk menenangkan aku, yang sedang kolaps karena terinfeksi virus corona.
Apapun kata orang dan seberapa keras upaya aku selama ini aku menjaga diri, agar terhindar dari virus corona, tapi faktanya aku terinfeksi.
Dan sampai saat ini, dari mana dan kapan kira-kira aku terpapar? aku renung-renung dan coba ingat-ingat, sampai saat ini masih belum ketemu juga.
Pertanyaan yang biasa muncul dari para warga itu,
“Mas titit habis perjalanan luar kota kemana?”, atau,
“Terima tamu luar kota siapa saja dan dari mana saja?.”
Kalau ditarik mundur dari saat gejala awal dengan masa inkubasi, aku tidak ada perjalanan luar kota sama sekali.
Kemudian kalau harus menerima tamu ataupun teman yang datang, itu semua sudah dengan protokol kesehatan yang ketat.
Jujur, karena pekerjaan dadakan, mobilitas aku waktu itu sempat relatif tinggi.
Pun demikian juga sudah dengan kehati-hatian yang sedemikian rupa.
Sungguh ini bukan sebuah apologi terhadap diriku. Tapi hanya sebuah upaya untuk menggugah sebuah permenungan, sudah berupaya sedemikian rupa saja, masih terpapar dan kemudian terinfeksi.
Bahkan seorang teman aku menganalogikan seperti ini,
“Mas, kamu itu ibarat orang berkendara di jalan raya, sudah hati-hati, tapi masih di atau tertabrak pengendara lain”.
Sungguh analogi menarik perhatian, tentunya soal kesialan. Kalau ga inget hubungan pertemanan kami sudah cukup lama, pastinya akan langsung ku kutuk dirinya menjadi kodok.
Dan buat kalian yang dulu dan sampai saat ini masih abai dengan protokol kesehatan, terlebih yang sampai detik ini masih belum percaya akan keberadaan virus corona, aku pribadi mengalami terinfeksi dan sangat membahayakan jiwa.
Belum lagi dari sisi sosial, psikologis dan ekonomi menjadi sangat rumit. Ingat kata bijak ku barusan, meskipun sudah lewat, tapi kengeriannya menjadi malapetaka bagi dunia.
Reaktif,
Karena kondisi tidak semakin membaik kuputuskan esok siang hari untuk ke rumah sakit lagi. Masih di rumah sakit yang sama. Periksa kali ini ketemu dokter yang berbeda dari periksa sebelumya.
Melihat hasil laboratorium, sekalipun deviasi angkanya tidak (belum) terlalu signifikan, ada kecurigaan ketidakberesan di paru-paru ku. Kemudian untuk memastikan semuanya, aku rapid test antibodi dan ternyata hasilnya reaktif. Horee… Kok malah bangga?
Karena rumah sakit yang aku datangi ini bukan rumah sakit rujukan covid, dokter menyarankan banyak hal, perihal langkah yang harus aku tempuh.
Setelah menarik nafas sejenak, aku berusaha mengingat beberapa kawan dan personal satgas penanganan covid-19, di tempat aku tinggal.
“Mas-nya tetap tenang ya, istirahat di rumah sambil kita tata penanganan berikutnya” begitu pula kata beberapa teman yang duduk di satgas.
Malam itu juga, aku menerima jadwal bahwa pagi harinya, aku harus segera melakukan swab PCR di Puskesmas terdekat. Sesudah swab aku disarankan dokter untuk isolasi di rumah sambil melanjutkan obat yang aku dapatkan sebelumnya.
Makin Menjadi,
Obat selalu ku minum secara disiplin, tapi kondisi tidak semakin membaik. Yang terjadi malah sebaliknya.
Suhu tubuh masih fluktuatif pada kisaran tiga puluh delapan derajat celcius, batuk semakin menjadi-jadi, dan karena hampir tidak ada asupan nutrisi sama sekali, membuat kondisi tubuhku semakin melemah.
Sambil memantau peluang isolasi di rumah sakit, karena konon semua rumah sakit rujukan covid penuh, untungnya ada yang membantu penyembuhanku datang esok paginya, aku dibantu salah seorang saudaraku yang pekerjaannya di bidang medis, membantu memasang infus sambil menambah dan mengganti beberapa obat.
Itu pun juga begitu kondisiku tidak semakin membaik. Malah pada malam harinya ada tanda-tanda sedikit berat pada pernafasan ku, dan belakangan diketahui saturasi oksigen menunjukkan angka dibawah normal.
Kurasa itu bukan pertanda baik, begitu juga kesimpulan saudaraku yang merawatku.
Hari berganti, karena kondisi tubuh ini semakin drop, tidak peduli apakah ada ruang apa tidak di rumah sakit, dengan dibantu keluarga, teman serta saudara, aku dilarikan ke salah satu rumah sakit swasta di Kota tempat tinggal ku, dan langsung masuk ‘Instalasi Gawat Darurat’, aku kira-kira tiba di rumah sakit lewat pertengahan hari.
Setelah mengkonfirmasikan sejumlah dokumen laboratorium dan riwayat perawatan dari rumah sakit sebelumnya, aku langsung dimasukkan di ruang isolasi ‘Instalasi Gawat Darurat’.
Dengan cepat dan penuh kasih dokter serta para perawat, melakukan tindakan pertolongan seperti pemasangan oksigen, infus, pengambilan sampel darah, rekam jantung dan foto rontgen serta sejumlah tindakan lain.
Setelah data medis terkumpul, akhirnya disimpulkan aku harus dirawat di rumah sakit.
Persoalan kecil muncul kembali, karena ruangan rawat inap, baru bisa ditempati sore atau bisa jadi malah malam harinya.
Praktis aku sepanjang siang hingga sore diruang isolasi ‘Instalasi Gawat Darurat’.
Tapi tidak apa-apa, pikirku tenang, karena setelah mendapatkan pertolongan dengan sejumlah treatment kedaruratan, aku sedikit merasa nyaman dan adem.
Dan setelah sore berganti malam hari, akhirnya aku bisa dipindahkan ke bangsal isolasi bagi para pasien yang terinfeksi virus corona. Resmi aku menjalani isolasi di rumah sakit, menjadi pasien penderita infeksi virus corona.
Semula hanya aku baca dari berbagai media tentang apa, mengapa dan bagaimana menjalani isolasi di rumah sakit karena terpapar virus corona, kini nyata aku mengalami sendiri.
Bukan pengalaman yang menyenangkan, terlebih lagi aku sebenarnya membenci rumah sakit, entah mengapa aku menganggap rumah sakit itu sebagai hotel yang tak pernah sepi pengunjung.
‘Jadi kepingin bisnis rumah sakit kah, kawanku?’
Pada awalnya aku membayangkan saja takut, tapi saat ini aku berada tengah-tengah pusaran rasa takut itu. Nyebur, berkubang dan bergulat dengan sumber rasa takut itu.
Akan tetapi yang mengherankan, justru hilanglah rasa takut yang semula menyelimutiku. Yang ada tinggal pikiran sembuh.
Terlebih ditolong, dilayani dengan penuh perhatian dan kasih, oleh dokter serta para sahabat perawat. Bayangkan kalau si teteh itu perawat yang merawat diriku, makin cepat sembuh mungkin.
Maaf bercanda, tapi itu serius pengen banget teteh yang merawat ku, karena para perawat disini tuh, dengan protokol sangat yang ketat, tanpa ragu-ragu menyapa, menyentuh dan bila perlu memegang aku.
Entah dalam kerangka memasukkan obat, memasang atau membetulkan jarum infus, injeksi, ukur tensi, saturasi hingga membantu bersih diri. Normal donk kalau membayangkan teteh jadi perawat. Masih saja konyol otakku.
Perlu diketahui karena sesuatu hal (diurai ke belakang) selama dua per tiga masa isolasi di rumah sakit, aku tidak boleh didampingi keluarga.
Betul-betul sendiri dalam arti yang sebenarnya. Tetapi sekali lagi… terimakasih… Syukurlah aku selalu ditemani oleh tim medis yang luar biasa di rumah sakit.
Hal ini yang menjadi salah satu faktor, bahwa dibenak aku tidak ada pikiran lain, kecuali sembuh.
Dan pada saat itu pula, ketika sebenarnya secara fisik masih sakit dan sangat lemah, aku mulai merenda kisah sembuh ini, berharap sehat dengan cepat, mengurus kebun, dan merawat teteh supaya menuju klimaks dengan hebat.
Optimisme dan semangat itu aku wujudkan dengan kepatuhan seribu persen pada protokol pengobatan yang ditentukan dan terapkan kepadaku oleh Tim Medis rumah sakit.
Mulai dari intervensi obat, vitamin (baik oral, melalui selang infus maupun injeksi langsung di beberapa bagian tubuh) hingga beberapa saran terapi.
Masih ditambah pengambilan sampel darah maupun cairan tertentu untuk keperluan pemantauan progres kesehatan.
Semua aku taati sepenuh hati. Walau pada beberapa tahapan tertentu diselingi sedikit diskusi dengan pelaku paramedis sembari proses treatment.
Kalau boleh aku ungkapkan secara jujur, sungguh sebuah proses yang sakit, melelahkan serta menegangkan.
Bahkan, terkadang karena kesakitan sudah sampai tidak teringat siapa-siapa, ketika sadar aku sering bingung dimana aku berada, itu sungguh titik terlemah hidupku.
Belum lagi hingga nanti aku bisa diperbolehkan keluar, aku masih harus melanjutkan tahapan terapi dan pengobatan, berkait dengan beberapa organ yang terimbas serangan virus corona.
Berkait dengan proses treatmen ini, pada saat-saat tertentu ketika berjumpa dengan saudara, kawan dan siapapun, selalu aku ceritakan betapa proses ini sungguh sakit dan sangat melelahkan.
Belum persoalan tekanan sosial yang luar biasa. Sehingga selalu aku katakan kepada mereka,
“Cukup aku saja yang mengalami. Teman-teman jangan sampai merasakan. Maka selalu waspada, ekstra hati-hati dan selalu patuhi protokol kesehatan”.
Meski banyak dari kalian pun tidak percaya dengan virus ini, tidak mengapa, sekali lagi aku cuma bisa mengatakan, “Cukup aku saja”.

Ahh, akhirnya selesai sudah seluruh proses penderitaanku barusan, dilema orang sakit itu ketika sudah sehat langsung ingin ini itu yang sudah didambakan ketika sakit, dan begitu juga diriku yang sudah merencanakan ini dan itu, termasuk dengan si teteh tentu saja.
Sudah lama kami tidak bertemu, selepas kejadian di kamarku seminggu kemudian teteh sekeluarga terpapar virus itu, dan setelah lebih dari sebulan entah berapa lama aku sudah lupa, aku melihat teteh sudah mulai berjualan kembali, dan aku hanya sekedar mampir berbelanja tanpa melakukan interaksi aneh kepada teteh, begitu pula tindakan teteh yang biasa saja ketika bertemu denganku, perilaku normal biasanya.
Hanya sedikit gerakan saja yang kami lakukan, ketika pada saat aku membayar belanjaanku teteh yang saat itu menjadi kasir dan saat ku sodorkan uangku, si teteh memegang seluruh telapak tanganku dan sedikit meremasnya.
Agak sedikit was-was sih, tapi aku tetap bisa menjaga ketenangan hingga tampak normal.
Aku sudah mengabarinya dan membeberkan rencanaku kepada teteh, tentu saja teteh dengan antusias menjawab sudah ga sabar lagi, sungguh teteh yang menyenangkan bukan.
Aku bahkan pernah berkata kepadanya dengan vulgar,
“Ingat, selain suamimu dan aku, ga ada yang boleh menyentuh memek mu”
Dijawab teteh, “Ihh, si om mah jorok”
Aku hanya tertawa mendengar teteh merajuk, dan hariku pun bergulir…
Sebentar, rencanaku dengan si teteh terpaksa harus ditunda dulu karena siang ini, aku harus menghadiri acara keluarga besar kami. Karena aku harus mendampingi ayahku yang sudah menua dan kesusahan berjalan, jadi aku harus disampingnya.
Siang itu mendung, hujan mulai jatuh menyiram tanah dengan derasnya, bau tanah yang tersiram hujan itu terkadang sesuatu banget buatku.
Hujan mulai rintik, ketika prosesi itu berlangsung, adikku dengan sengaja menggandeng ayahku bersama dengan ponakanku yang sudah beranjak dewasa. Mereka mengambil alih tugasku, dan aku hanya terdiam saja, membiarkan mereka yang melakukan tugasku.
Kami berjalan menuju tempat peristirahatan Ibuku, yang sudah kami pindahkan dari Ibukota ke tempat kami ini beberapa tahun silam.
Tidak ada isak tangis dalam perjalanan kami, aku pun hanya bisa terdiam bersikap masa bodoh.
Tidak tahu harus ngapain hanya mengikuti mereka yang berjalan perlahan.
‘Tragis’, itu bisikan dari orang-orang yang mengikuti kami, mereka berbisik, kasak kusuk, mungkin malah ngegosip, sudah ga jelas maksudnya apa
Hujan masih berjatuhan dengan perlahan, prosesi itu akhirnya selesa juga, kupikir setelah ini aku yang akan menuntun ayahku pulang, tapi kembali adikku yang melakukannya, dan sekali lagi aku hanya bisa terdiam.
Bukannya aku anak ga berbakti ya, itu karena anak dan cucunya ayahku sayang sama orang tua yang tinggal satu-satunya, jadi pada berebut mendampingi ayahku.
Itu saja sih pemikiranku pada saat itu.
Mereka mulai meninggalkan lokasi, mencoba mengabaikan ku, dan diriku entah kenapa hanya tetap berdiri terdiam di tempat, tidak ikut beranjak meninggalkan lokasi.
Aku melihat langit hujan mulai terhenti, tapi kondisi seperti sore menjelang malam meski ini siang hari.
Kulepaskan topi kesayanganku yang tampak lusuh, benang-benang sudah mulai berjuntaian keluar, harusnya dibuang saja ini topi, tapi ini benda kesayanganku, entah kenapa kalau sudah sayang sama barang aku sering enggan melepaskannya.
Kemudian ku acak-acak rambutku yang sudah ku potong pendek melepas sedikit rasa gatal dari kepalaku. Sambil termenung, memikirkan kembali potongan-potongan kehidupanku yang melintas di otakku.
Disinilah akhir dari kehidupan.
Nilai dari manusia adalah terselesaikannya peziarahan mereka di dunia fana ini.
Ku berjalan mendekat nisan yang baru saja dibuat, sambil membaca tulisan dari nisan itu,
‘Huh, biasanya tulisannya standard tapi ini cukup menarik’ pikirku,

Tertulis,
[Disini Telah Terbaring Dengan Tenang Dan Damai Saudara Lelaki Kami Tercinta, Putra Dari Seorang Ayah Yang Sangat Menyayangi Anaknya Tercinta.
[Mas titit]
Aku tersentak!!!

—- END —-​
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url